Membebaniku

Pembuktian itu butuh pengorbanan. Di rumah aku dikenal sebagai Fania yang penakut, ini karena film-film horor yang terus-terusan kutonton padahal aku tahu setelahnya aku tidak akan pernah bisa tidur sendirian di kamar. Kali ini akan aku buktikan bahwa ketakutan hanya debu yang menumpang lewat di mataku. Lagipula kalau aku masuk paskibra aku bisa dekat sama Reno, kakak kelas yang kadar kegantengannya melebihi batas itu, tekadku untuk masuk paskibra semakin menggebu-gebu. Karna nantinya dia yang bakal melatih kami para junior unyu-unyu ini, yang masih kelas satu bukannya mengincar perhatian guru malah ngincar perhatian cowok-cowok yang unyu pula. Tapi bergabung menjadi  anggota paskibra  itu tidak semudah mengupas kulit pisang, ada proses yang super duper berat. Walaupun mengupas kulit pisang juga ada prosesnya, yaitu kupas dan buang di tong sampah supaya tidak ada yang kepeleset.

Sabtu sore kami semua dibariskan di tengah lapangan, untuk menjalani pelantikan.

“Setelah kakak bubarkan kalian boleh bersih-bersih, lalu jam 9 nanti baris lagi disini. Jangan ada yang terlambat, paskibra nggak kenal yang namanya jam karet.”

Kak Doni, orangnya tinggi besar kulit hitam. Di kegelapan aku yakin yang terlihat cuma giginya saja. Bukan bermaksud mengejek, aku bicara fakta. Satu persatu nama dipanggil untuk masuk kedalam gedung sekolah bertingkat kami yang sudah sedemikian rupa disulap menjadi rumah hantu oleh kakak-kakak senior, kami harus berjalan mencari evolet dan scraf masing-masing di penjuru ruangan, tapi bukan hanya cari, dapat, dan pergi.

“Fania!” 

Baiklah ini dia, namaku dipanggil. Tanpa penerangan apapun aku masuk ke dalam, pertama-tama lobi. Begitu aku masuk semilir angin langsung menghembus di tengkukku, sumpah aku ingin pulang sekarang. Tapi tidak ada kesempatan lagi buat mundur, aku harus terus maju. Aku berjalan melewati lobi.

“Psst.” Ada yang memanggil dari arah meja piket. Aku sedikit terkejut, ada sesosok tubuh disana. Kudekati dia, ternyata seorang kakak kelas. Jantungku lebih tenang, setidaknya untuk beberapa saat.

Evolet ada di lantai 2, cari di semua sudut di laci meja murid, meja guru, di dalam tong sampah, di kamar mandi, scraf di lantai 3. Setiap naik tangga di sebelah kanan ada pos, kamu harus lapor ke pos dulu. Nanti ada tugas-tugas yang dikasih. Nah sebelum naik tangga, buat pos ini, tugasnya itu.” Jantungku berdegup kencang lagi, kakak itu menunjuk ke ruang guru. “Masuk ke sana, terus balik kesini lagi kasih tau apa yang kamu liat. Oke? Sekarang.”

Aku mengangguk, menelan ludah. Tugas macam apa ini? Sudahlah, aku harus cepat-cepat menyelesaikan semua kebodohan ini. Aku berjalan santai ke ruang guru, lalu kubuka perlahan pintu. Gelap dan kosong. Nampaknya ada sesuatu diatas meja Bu Hani, wali kelasku. Ternyata sebuah kardus, segera kubuka perlahan kardus itu.

“Braakk!!” Suara pintu menutup.

Uh..Uh..Uh..kepalaku
Semua yang membebaniku
Sungguh membebaniku

Aku terkesiap dan menoleh ke belakang. Tiba-tiba aku menangis entah kenapa, rasanya aku tidak kuat. Dan ini semua membebaniku. Aku pusing, semua yang gelap di sekitar ruangan ini menjadi semakin gelap. Jangan, jangan pingsan sekarang, aku bisa dibilang bodoh kalau begini dan selamanya akan menjadi Fania yang penakut. Ini kemauanku dan aku harus kuat, ini hanya sementara dan aku tak akan mati disini. Nyatanya para hantu tidak dapat membunuh kan seperti di film-film itu? Jadi aku tidak boleh takut. Kubuka lagi dengan terburu-buru kardus itu, tak ada apa-apa di dalamnya.

“Grhhhaaaa!!” Sesosok tinggi besar muncul dari balik meja tepat di depan mataku, matanya membelalak, dan rambut gimbal menutupi seluruh wajahnya.

“Aaaaaaaaaaaaaak!” Aku menjerit tanpa ampun dan lari menuju pintu, tak bisa dibuka.  Dia berjalan mendekat, langkahnya terseok-seok. Dia semakin dekat, semakin dekat.

“Grhhhaaaa!!”

“Aaaaaaaaaaak!”

“Grhhhaaaa!!”

“Aaaaaaaaaaak!”

Begitu berulang-ulang yang terjadi hanya adu teriakan antara seorang manusia yang kalut setengah mati dan hantu yang tak punya hati. Sampai akhirnya pintu di belakangku terbuka sendiri dan aku berlari menuju pos.

“Apa yang kamu lihat disana?”

Napasku terengah-engah. “Mbah Surip!” Hanya itu jawaban yang mampu kuberikan.

***

Semua yang membebaniku
Sungguh membebaniku
Lemah tetap menari
Langkahku... Mencoba tetap

Aku berjalan menaiki tangga, aku hanya harus mencari evolet dan scraf yang telah dilabel dengan namaku. Itu saja, tugas antah berantah itu hanya angin lalu yang akan kukerjakan di alam bawah sadarku. Kudatangi pos di dekat tangga. Tidak ada siapa-siapa, hanya ada sebuah kertas yang bertuliskan:

‘Untuk nama A sampai K ada di kelas dari koridor sebelah kanan, L sampai Z di kelas-kelas koridor sebelah kiri. Masuki semua kelas, di sebagian kelas, kalau ada meelihat penampakan tegur mereka dengan menepuk pundak atau bagian tubuh manapun. Sebut kata “Ikhlas” jika sampai tiga kali tidak ada sahutan “Bakti” maka segera lari, karna itu bukan kami. Tegur dulu sebelum mencari evolet. Itu tugas kalian. Setelah dapat evolet masing-masing, segera ke lantai 3.’

Ini berkah! Hanya segampang ini, aku mencari evolet dan ditemani oleh para kakak-kakak yang jadi hantu gadungan. Segera kumasuki kelas di koridor sebelah kanan. Belum apa-apa sudah kulihat sesosok perempuan berambut panjang dan berbaju putih. Kutowel lehernya, bukan kutepuk pundaknya, entah kenapa di tengan-tengah situasi yang harusnya mencekam ini masih sempat-sempatnya aku bercanda.

“Ikhlas.” Seruku.

“Hahahahaha. Bakti! Geli woy!” Dia tertawa geli.

Aku cekikikan sendiri, lalu segera mencari di semua sudut kelas, evoletku tidak ada. Lalu aku beranjak pergi ke kelas sebelah. Ada empat kelas di koridor sebelah kanan. Tidak ada sosok apapun, aku aman lagi, di kelas inipun tak ada namaku. Sial, kenapa di tempat yang mudah malah tidak ada. Kelas ketiga, ada hantu gadungan lagi, kutepuk pundak sosok yang sedang dalam posisi sujud dan memakai baju hitam-hitam.

“Ikhlas.” Ia tak menjawab, “Hem mau buat takut ya?” batinku dalam hati.

“Ikhlas.” Kutepuk sekali lagi pundaknya. Ia bangkit dan memandang ke arahku. Mukanya bercat putih semua, dia memegang tanganku, sekujur tubuhku kaku, lalu ia mendekatkan bibirnya ke telingaku. Jangan bilang ini hantu mesum.

“Bakti.” Ia berbisik, segera kulepaskan pegangannya dan segera mencari evolet. Lagi-lagi tak ada, pasti di kelas keempat. Tak salah lagi, harusnya tadi aku langsung kesana saja.

Di sudut kelas keempat aku mendapati sosok yang rasanya bukan kakak kelas, melainkan anak kecil. Kepalanya botak seperti tuyul. Segera kucari lagi eveloetku dan mengabaikan tugas menyapa.

“Yes!” Akhirnya ketemu, di laci meja guru, evolet bertuliskan namaku. Aku menuju ke arah tuyul itu,ia sedang duduk sambil memeluk lututnya, sehingga tak kudapati wajahnya.

“Ikhlas.” Kutepuk tangannya. Dia tak menjawab. “Ikhlas!” Dia tak bergeming. Ketiga kali. “Ikhlas!” Dia masih diam. Aku lari. Tugasku sudah selesai bukan?

Lantai ketiga aku hanya harus berurusan dengan suster ngesot yang sebenarnya cukup membuatku bergidik ngerih yang terseok-seok di tengah koridor. Semua scraf ada di sekelilingnya, jadi aku harus tetap melotot mencari-cari scraf tepat di depannya. Tak sulit aku langsung mendapatkan milikku. Aku menangis lagi, kali ini tangisan haru. Untuk segala keberanianku.

Berdiri,kumenangis... Masih tetap
Mencari jalanku
Memahami beban itu

Semuanya berakhir, aku kembali ke barisan dan menunggu semua teman-teman selesai mencari. Terbukti, aku bukan Fania yang penakut lagi. Segala jenis hantu (gadungan) sudah kutaklukan. Yeah! Paginya kami sarapan bersama kakak-kakak senior. Aku mendatangi Reno yang berdiri di dekat meja tempat gelas-gelas minum, tak akan kudapatkan perhatiannya kalau aku tidak maju terlebih dahulu.

“Kakak jadi hantu apa?”

Reno menoleh ke arahku, “Haha kamu, kamu berbakat lo jadi atlet cabang teriak jarak panjang.”

“Maksudnya?” Aku tidak mengerti.

“Aku yang di ruang guru, reaksi kamu tuh paling beda. Jadi yang paling aku inget karna lomba teriak kita hehehe.” Dia tersenyum, aku meleleh lalu mengangguk. ‘Kita’ katanya?

“Oh haha, kalo kakak berbakat niru Mbah Surip.” Aku membalas senyumnya, ini benar-benar surga. Walau ternyata hantu yang tak punya hati itu ternyata orang yang kujatuhi hati.

“Ohiya anak kecil yang jadi tuyul di lantai dua mana? Kok nggak ikut sarapan? Adek atau anaknya siapa tuh kak? Bagus aktingnya.”

Reno mengerutkan kedua alisnya, “Yang nyamar hantu cuma kita-kita aja kali, nggak ada yang bawa adek apalagi punya anak. Keluar sana Fan, bentar lagi mau kakak barisin kalian.” Reno beranjak keluar, kepalaku pusing lagi dan hanya terbengong, menunggu lalat masuk ke mulutku.

Uh..Uh..Uh..kepalaku


*(Untuk project #CerpenPeterpan terinspirasi dari lagu Membebaniku.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar