Membujuk Seorang Rahne

by : Zarry Hendrik

Mungkin kita telah membuat mereka gemas, mungkin kita begitu menggemaskan. Aku jadi ingat pada suatu waktu, di mana bola mataku didekap oleh cahaya yang terpancar dari caramu senyum dengan tersipu. Waktu itu adalah aku dan kamu, itu kita yang baru kenal. Sekarang waktu sudah jauh berjalan, detik demi detik telah menumpuk menjadi gunungan kata untuk aku meluapkan rindu dan memelukmu lagi di puncaknya.
Rahne, kau unik seunik namamu, kau lentik selentik sajakmu, dan kau menarik semenarik hidupmu. Selalu ada ucapan syukur oleh karena kau mengenal aku. Sebab tidak sekali kita berbagi kata, berduet kalimat dan bersilahturahmi dalam cerita, namun tidak seujungkukupun kutemukan keluh pada kebersahajaanmu yang menyejukkan. Aku jadi penasaran, bagaimana jadinya jika kita ada bersama di dalam satu arena, kemudian kita saling menyerang dengan bersenjatakan kata-kata yang biasa kita kawinkan. Aku pikir itu seru sekali, atau jangan-jangan malah menggemaskan? Hehehe..
Oleh karenanya di sini aku mencoba untuk bereksperimen, andai kata benar kita harus saling menyerang, mungkin yang terjadi hanyalah seperti di bawah ini..
Suatu hari, aku menghubungimu setelah kulihat berkali-kali aku tidak menjawab panggilanmu.
“Halo? Maaf, aku baru bangun, Ne.”
Aku tersadar bahwa sesungguhnya aku tidak mengindahkan kesabaranmu, di mana keletihanku hanya akan membuatku siap mendengar pitam yang seangkasa.
“Sudah! Tidurlah terus, Zar! Kau tidak perlu meminta maaf, sebab yang salah adalah aku, aku yang terlalu berharap bahwa kau akan keluar dari mimpimu dan kemudian menjawab aku. Ini seakan aku harus menunggu ikan paus segera memuntahkan bola matamu.”
“Rahne, dengarkan aku dulu!”
“Aku lelah menunggumu, Zar! Rasanya seperti berjalan dengan kaki telanjang di atas aspal jam 12 siang!”
“RAHNE!”
“Apa? Masih mau berkelit?”
“Aku rasa kau berlebihan. Aku hanya tidak menjawab panggilanmu, bukan tidak mengingatmu sama sekali! Kenapa kau jadi seperti anak kecil yang kecewa hanya karena Superman hanya ada di dalam film?”
“Bila aku seperti anak kecil, itu karena kau seperti anak gorilla!”
“Itu tidak lucu! Dengar, Ne, aku bisa jelaskan!”
“Ah, mitos apalagi, Zar? Kau pikir dengan tidak memberi kabar, kau akan jadi legenda?!! Sudahlah, Zar, masih banyak lagi yang harus aku kerjakan selain hanya meladeni dongengmu itu!”
“Baiklah! Saat nanti kau menyesal, kuharap itu bukan karena jarum jam telah menusuk matamu. Lihat saja!”
“Kau mengancam? Zarry, jangan bawa-bawa sang waktu hanya karena kau pikir aku adalah waktu luangmu!”
“Itu pemikiran yang picik yang pernah kudengar selama bertahun-tahun aku hidup di bumi ini!”
“Kau memang hidup di bumi ini. Tetapi lihat, tidak kau izinkan duniamu  nyata di hidupku, Zar.”
“Kau salah, Ne.”
“Salah apa? Salah satu manusia yang rindunya tidak dihargai?”
“Oh, jadi rindu yang meraksasa itu telah membuatmu marah, sampai aku terlihat begitu kecil di matamu? Itu?”
“Lebih dari itu!”
“Hmmm, ya sudah, aku minta maaf.”
“Aku bisa tetap merindukanmu tanpa harus memaafkanmu. Sudahlah!”
“Rahne, aku minta maaf. Selain aku manis dan baik hati, aku tahu aku egois.”
“Hih!”
“Baiklah, kau di mana sekarang, aku ke sana?”
“Memejamlah, sebab aku ada di situ!”
“Rahne, tolong jangan cemberut terus! Nanti kau jadi mirip lapisan bumi yang sudah bolong, kau tahu?”
“Biar, biar sampai matahari ada sejengkal dari kepalamu, mungkin barulah kau sadar bahwa rinduku sudah banyak bertaburan di langit.”
“Baik, kalau kau masih tetap ingin cemberut, aku akan melukis wajahmu di atas lembar hidupku, agar nanti bisa kuingat, aku pernah bodoh sekali.”
“Aku rasa ada sesuatu di mulutmu yang manis itu, yang mungkin bisa kubersihkan dengan menggunakan sendal.”
“Bila itu caramu mengungkapkan rasa sayang, lakukan!”
“Itu Zarry, selalu pintar merayu. Entah apa hanya aku yang dirayunya! Huh!”
“Seperti ada hitam yang berkilau, itulah aku yang cuma genit tapi setia.”
“Ya sudah, cepat temui aku di sini, aku sudah menyiapkan sendal ternikmat untukmu.”
Hahahaha, mungkin percakapan di atas berlebihan, tetapi semoga tidak kekurangan sama sekali. Tulisan ini hanya sebagian kecil dari cara aku menggambar kagumku kepada Rahne. Sebab jauh di atas aku, ada langit pagi yang selalu melukiskannya.
Kau tahu, mungkin aku adalah satu dari berbagai sahabat yang tidak pernah melihatnya marah, atau paling tidak matanya benar-benar melotot. Rahne adalah sosok yang lembut, tetapi tidak lembek. Ia begitu rendah hati dan tidak pernah memandang remeh hal-hal kecil. Ada banyak kata tentangnya, yang dengan mudahnya tumpah berserakan di atas tanah hatiku.
Inilah aku yang hanya kata, sesuatu yang pernah ia katakan.
Salam pencinta kata, Zarry hendrik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar