Kacamata

Ada ketertarikan sendiri bagiku saat melihat perempuan berkacamata. Bukan kacamata hitam, melainkan kacamata berlensa putih. Kelihatan pintar di mataku, meski aku tidak tahu yang sesungguhnya. Melihat mereka, rasanya aku, jatuh hati.

Aku sedang bersantai di gazebo kampus, merasakan semilir angin yang berhembus meraba kulitku dan berbisik-bisik di telinga. Langit siang ini sedikit mendung dan yang kutunggu belum juga datang. Farah, seorang perempuan berkacamata minus dua. Rambutnya hitam lebat dan panjang, tak pernah dibiarkannya tergerai, selalu ada inovasi dalam cara mengikat rambut darinya. Di balik kacamatanya, tersimpan kepintaran sesungguhnya dari seorang perempuan berkacamata namun tertutupi oleh sikapnya yang sedikit kekanak-kanakan. Tawanya menular, saat ia tertawa, tak dapat kutahan senyum mengembang dari sudut bibir. Kacamatanya berframe biru, ya, dia menyukai biru. Dan aku menyukainya, sahabatku.

Sudah lebih setengah jam aku menunggu, dia belum datang juga. Aku mencoba menghubunginya, tidak ada jawaban. Kuputuskan untuk menyusul ke fakultasnya, tak jauh dari gazebo tempat aku menunggu, tempat kami biasa menghabiskan waktu untuk bercerita tentang apa saja.

Aku masuk ke dalam gedung fakultas hukum, kutemukan Andre di dekat tangga, teman sekelas Farah semester ini.

“Hoi Ndre.” Kutepuk pundaknya.

“Hoi Ze, widih makin gonjes aja tuh rambut, nggak sekalian dibotakkin aja?”

“Santai bos. Farah udah keluar belum?”

“Masih di kelas sih tadi. Naik tanggga, kelas pertama sebelah kiri. Lagi sibuk deh kayanya.”

“Sibuk? Ngapain?”

“Liat aja sendiri.”

“Oke, thanks Ndre.”

Aku langsung bergegas menuju kelas Farah, dengan napas terengah karena terburu-buru menaiki tangga, aku tiba di depan kelas. Farah disana, tak sendiri, bersama seorang yang kukenal, Reza. Belakangan ini Reza sering mengajak Farah jalan berdua, serasa ada yang menghimpit di dada setiap mengetahuinya, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa menyukai Farah dalam diam dan entah kapan akan terungkap. Mereka disana, duduk berdua, saling tertawa. Tak sanggup lagi, segera aku menuruni tangga dan pulang tanpa Farah. Hanya bisa menunggunya mengirim pesan singkat pemberitahuan bahwa ia pulang bersama Reza, tidak denganku.

***

“Ze! Bangun Ze.” Sayup-sayup kudengar suara Ibu menggedor pintu kamar. “Ze, ada Farah tuh.”
Farah? Aku langsung bangun dari tidur yang tak berapa lama tadi. “Ya buk, bentar.” Kuambil HP, ada sebuah pesan.

Ze, dimana?

Tandanya Farah tidak pulang bersama Reza hari ini. Aku tersenyum, seperti ada beban berat yang terangkat dari dada. Sedikit rasa bahagia sesaat yang hadir dari kesakitan. Aku beranjak menemuinya. Farah sudah menunggu di teras depan.

“Maaf Far, ketiduran.”

“Tauk!” Ia membuat-buat muka cemberut.

“Eh kenapa? Nggak pulang bareng Reza? Tadi aku liat kamu sama dia di kelas, dan ngebiarin yang udah nunggu di tempat biasa.”

“Ih ngintip! Pantesan, maaf ya lama ngabarinnya, keasikan hehe.” Aku tersenyum lalu menoyor kepalanya.

“Dasar. Eh dalam rangka apa kesini? Tumbenan.” Sebenarnya aku ingin bertanya makna dibalik ‘keasikan’ tadi.

“Ehm, kalo aku bilang aku jadian sama Reza, kamu bakal seneng nggak?” Farah menatapku, menusuk tepat di hatiku dengan pertanyaannya barusan, atau mungkin sebuah pernyataan?

“Kapan? Tadi?” Datar, mencoba untuk tetap terlihat tenang, hanya itu yang mampu kukatakan.

“Hemm belum sih, belum aku jawab.”  Terjawab sudah, ternyata sebuah pertanyaan.

“Maunya kapan?”

“Tunggu kamu setuju.”

“Kenapa aku?”

“Kamu kan sahabat aku Ze...”

Rasanya menyakitkan, tak ada ruang bagi hatiku untuk diam lagi.

“Far, sebelum aku jawab. Ada sesuatu yang harus kamu tau. Sadar nggak kalo selama ini aku jadi baju tidur buat kamu?”

“Hah? Maksud kamu?” Farah membetulkan letak kacamatanya yang sebenarnya baik-baik saja, masih menatapku. Aku selalu suka caranya melakukan itu.

“Selama ini kita deket dan aku selalu jadi tempat dimana  kamu cerita tentang semua cowok yang deket sama kamu, nemenin kamu kalo lagi sendirian. Rasanya aku itu ibarat baju tidur yang kamu pake buat dapet kenyamanan aja, tapi waktu kamu menghadapi dunia, kamu pake baju kasual dan semua orang ngelihat itu. Baju itu kamu pake buat ngejalanin hidup kamu tapi orang lain nggak ada yang tahu baju apa yang kamu pake buat lelap, apa itu baju yang sama atau enggak mereka nggak tahu.” Farah terpaku, ada sinar keterkejutan sekaligus kekecewaan disana.

“Kamu suka sama aku, Ze?” Farah menatap kosong entah kemana, tak lagi kearahku. Aku gugup.

“Iya, Far.”

“Sejak kapan?”

“Entahlah.”

“Tapi kan...”

“Aku sahabat kamu, aku tahu. Aku cuma kepingin jujur.”

Farah menatapku, “Aku nggak nyangka Ze. Kamu tahu ini gila. Tapi aku juga nggak mau keadaan bakal berubah gara-gara ini.”

“Nggak akan, aku bakal tetep jadi sahabat kamu terus, baju tidur buat kamu.” Aku menghela nafas, “Dan aku setuju kamu sama Reza.”

Hanya bisa tersenyum, lega karna semua yang terpendam telah tersampaikan, ingin hilang dari hadapan Farah, untuk mencegah rasa ini muncul kepada seseorang berkacamata lain, bukan Farah.

“Aku masih nggak percaya Ze, bener-bener nggak percaya. Makasih ya, aku yakin kamu bakal ketemu yang tepat, yang benar-benar tepat.” Farah mengulangnya dengan penuh penekanan.

“Iya, asal waktu tidur pake baju tidur itu, kamu tetep pake kacamata terus ya?”

“Gila! Hahaha.” Farah tertawa, aku tertawa. Tak ada lagi perkara dan semua baik-baik saja.

***

Seperti biasa, aku menikmati waktu kosong di gazebo. Menunggu kelas yang akan mulai satu jam lagi. Tak ada pemandangan menarik disini, namun suasana yang teduh membuatku selalu nyaman untuk sekedar duduk diam tak melakukan apapun disini. Di sudut sana, aku melihat Farah sedang duduk berdua dengan Reza. Mereka resmi jadian.

“Ze!” Aku menoleh, Bayu menyodorkan secarik kertas ke hadapanku.

“Apaan nih?”

“Udah dapet kelompok belum buat ntar? Mau gabung? Kosong nih satu kepala lagi.”

“Yayaya boleh.”

“Okedeh.” Bayu menuliskan namaku di daftar anggota kelompok urutan kelima.

5. Zenna Khairina

“Masuk yuk.” Bayu mengajakku.

“Duluan deh. Masih mau ngelamun lagi nih.”

“Dasar melankolis.” Bayu melongos pergi. Aku kembali melihat kearah Farah dan Reza.

Ya, mungkin suatu saat aku memang harus menemukan seseorang yang tepat, benar-benar tepat, sosok pria berkacamata. Setidaknya begitu.

(Untuk project The Mimins, dari @NBC_UB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar